Just being there, for someone



Tetaplah di sana, untukmu.
Mungkin kalimat-kalimat yang akan kutulis kali ini takkan bisa mewakili apa yang aku dan kamu rasakan. Ketika dua ruh bercengkara dan menari dalam irama keimanan pada Ilahi, bibir-bibir mereka bergelayut mesra dalam untaian tasbih dan takbir. Menyusun pecahan bahkan serpihan jiwa yang terselimuti syahwat celaka. Mereka mendamba penemuan dalam wujud terdekat syurga yang bergelimpang nikmat. Hakikatnya, sepasang makhluq ini bertemu dan menamu untuk menciduk beberapa tegukan di kaustar.
Pernah seringkali aku menjadi dinding ratapan, kotak keluhan, atau sapu tangan untuk meredam tangisan. Bersyukurnya saat aku bisa terus belajar. Senantiasa melacak diri dan instropeksi dasar. Aku tahu, sesuci-sebersih apapun kekuatan dua emosi dan energi yang disebut cinta itu jika diikuti interaksi yang tak lagi berbatas, semua hanya semu dan palsu. Pacaran, TTM, simbiosis-mutualisme, penjajakan, LDR, silaturahim, kenalan, dan segala daya upaya yang bernama interaksi tak terkuasai kini merebak hati bahkan lama kelamaan menepi, mungkin ia akan berakhir karena sedikit lagi akan mati. Mungkin. Kedok dan modus sudah berhasil mengelabui si shalih-shalihah merajut janji. Kemudian menerima-memberi sms saksi. Lalu takkan jauh-jauh dari menodai hati.
Dik, seseorang yang akan kupanggil dengan panggilan yang sama, mungkin aku tidak bisa banyak berkata-kata jika harus menebar cinta dalam mengudara. Mungkin kamu akan selalu mengenalku sebagai seseorang yang bernapas dan berdarah dingin. Karena sayangnya, ketika aku berada di satu titik awal sampai jenuh, sosok Zahid; Julaibib; dan Ali menjauhkanku darimu. Menghindari hasrat untuk terjamu rindu. Memusnahkan noda hati yang kutak tahu apakah ini memiliki arti. Sampai-sampai, akupun tak berani meski cuma memendam cinta. Akupun tak kuasa bahkan jika harus terdiam untukmu pesona.
Bila kamu membaca ini, siapapun kamu, aku ingin kamu tahu kalau aku takkan pernah tertebak. Kalau aku takkan pernah dideteksi. Kalau aku takkan pernah memalsukan diri. Sebagai pengagum budi pekerti sang Syahid bertiga di atas, tindakanku bisa menghasilkan beribu tanya. Ucapanku bisa menyentuh banyak makna. Berlainan aroma dan rasa.
Di sana sajalah. Untukmu yang akan kupanggil dengan ‘dik’ di suatu saat. Kamu tidak harus tahu apa isi di hatiku. Karena aku sendiri tak ingin ia ada di sana. Aku tak ingin ada sesuatu yang lain mengisi hati di sana. Bagiku, Zahid; Julaibib; dan Ali memberikan kisah indah yang mereka miliki. Lalu aku? Barangkali ingin kubuat agak berbeda karena inginku memberikan sedikit cerita dari Uways alqarni.
Sekali lagi, jika kukatakan untuk menukar semuanya di dunia, aku tak punya apa-apa. Dan jika kuinginkan untuk menukarkan semuanya untuk akhirat, aku malah lebih tak memiliki apa-apa. Maka jangan memilihku. Tolong jangan melirikku. Kumohon berhentilah mendekatiku dan lanjutkan hidupmu.
Maaf. Maaf bila waktu lalu serasa memberikan harapan yang tak tentu. Maaf bila saat itu kamu merasa ada yang aneh padaku. Kutegaskan, aku tak pernah melakukan yang tidak-tidak padamu. Jadi tolong dengarkan baik-baik, aku adalah orang yang paling sulit bersimpati. Aku adalah orang yang kehabisan emosi. Terlebih pada golonganmu itu.
Untuk kamu yang membaca ini, siapapun kamu, coba dengarkan aku. Hidupku dan hidupmu adalah pilihan kita setelah bersama Allah. Baca baik-baik, terlalu banyak kisah cinta yang terjadi. Banyak sekali kisah serupa yang terduduk rapi. Tapi bukankah kamu inginkan cinta yang menomor satukan Tuhan di atas segalanya?
Bukankah aku tak lebih penting daripada Sosok dan pertemuan dengan-Nya?
Bukankah aku tak lebih berharga kalau sekedar pendamping biasa?
Bukankah aku takkan pernah pantas untuk siapa saja? Bahkan kamu yang di sana, kamu lihat ‘kan?
Bukankah kamu lebih layak jauh dariku?
Bukankah kisah si shalih-shalihat dari masa kenabiyan hingga akhir zaman sungguh banyak yang haru dan berusaha merayu Cinta dari Sang Pemilik cinta? Kisah mereka indah-indah bukan?
Bukankah kamu ingin kisah seperti mereka? Tolong buat kisahmu tanpa aku!
Just being there, for someone. Lalu aku menepi seperti sediakala.



Yang tertawan dosanya,


Khair

Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

3 comments:

  1. Hai yg tertawan dosanya, sudah makan kah kaka? Atau takut akan kenyangnya.

    ReplyDelete
  2. Hai yg tertawan dosanya, sudah makan kah kaka? Atau takut akan kenyangnya.

    ReplyDelete