Antara backup dan Jatuh Cinta



Terkadang beberapa dari kita enteng menyatakan sesuatu yang benar di saat yang tidak benar. Menyuarakan sesuatu yang sebenarnya tepat tapi pada waktu yang tidak tepat. Benar sungguh, yang lebih sulit bagi lidah kita adalah menahan diri dari mengatakan kebenaran yang menggoda.
Terkadang –tidak sering memang- kita tergoda mengucapkannya hanya karena tidak sabar menunggu detik-detik yang pas untuk melakukannya. Bukankah sesuatu pergi dalam waktu yang tepat? Datang dalam waktu yang tepat? Kembali lagi dalam waktu yang tepat?
Dua istilah di atas juga ‘terkadang’ menggoda saya untuk menghilangkan diri. Mengasingkan diri. Menghidarkan diri. Atau frasa apalah yang semisalnya.
Bagaimana tidak aneh seorang manusia berharap penuh pada manusia lainnya?
Bagaimana bisa seumur hidup menuntut manusia kepada manusia lainnya?
Bagaimana bisa seorang manusia bertanggung jawab penuh terhadap kinerja manusia lainnya?
Bagaimana bisa peduli, nasehati, memperhatii, dan menjadi partner sejati secara utuh 24 jam hanya karena back up dan jatuh cinta dari manusia satu ke manusia lainnya?
Ah, mungkin persepsi ini yang salah. Tentu. Kita punya kartu truf kok. Afwan! The power of Afwan! Anyway, cinta yang seperti ini cukup rumit. Alasan cintanya lumayan sulit.
Sikap jatuh cinta yang membutakan atau menajamkan jiwa juga terbangun dalam proses yang tak sama. Kembang-kembang dan siraman madunya terbuat dari sumber yang berbeda. Rasa manis-asamnya pun bisa dijadikan aneka rasa yang berwarna.
Dalam hidup, kita ada untuk menjadi sahabat. Kita berjalan pada mereka untuk menjadi teman akrab. Dalam hidup, hubungan diikat dengan memberi. Hubungan dikuatkan dengan memberi. Hubungan diakrabi dengan memberi. Hubungan disahabati dengan memberi. Saya adalah sahabatmu; saya adalah sahabat dia; hanya jika saya masih bersedia memberi. Kita jatuh cinta untuk saling memberi. Kita tidak pernah dipusingkan dengan menerima. Kita tak pernah dibingungkan apa yang memberinya. Kita tidak pernah berselisih meski harus selalu saling memberi. Melihat satu alasan untuk menyalahkan memang selalu mudah setelah mengabaikan alasan lain yang merumitkan. Kawan, hidup tak se-instan itu.
Duh. Saya ada untuk memberi. Jika saya menganggap kalian sahabat. Semoga berbalas. Jika tidak, masih ada Dia. Dan satu lagi jika semua menganggap saya sahabat satu-satunya yang kalian miliki, saya yang akan terus memberi. Jangan salahkan apa yang diberi. Ini cara kita memberi. Karena kita mencoba ikuti akhlaq laik Nabi.

Yang tertawan akhlaqnya,

Khair
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments:

Post a Comment