Perih(al) hubungan kita

Kenyataan yang harus kita terima saat ini adalah usia yang kian mendewasa. Waktu telah mengubah semuanya. Allah pun sudah mengatur dari awal sebenarnya. Perjalanan yang terjalani selama ini juga sesuai perjanjian kita dengan-Nya. Meski sekarang kita sedang bersama-sama, siapa sangka kalau nantinya akan menjadi hubungan yang selamanya, atau terpisah terharap keridhaan-Nya. Manusia manapun tak pernah tahu kenapa, takkan bisa mencari tahu bagaimana. Ketidaktahuan itu indah. Ia membuat kita berdoa terbaik, berniat terbaik, berupaya terbaik, bertawakkal terbaik, bersyukur dan sabar terbaik.

Kamu pernah menaruh hati pada seseorang yang dianggap pantas menerimanya? Siapapun jika ditanya akan sama. Tapi untuk kali ini kuingatkan lagi, lihat-lihat dengan cermat, selidiki dengan teliti, siapa kepada siapa yang harusnya memantaskan diri? Menaruhnya bukan semisal mainan yang bisa diletakkan dimana saja sesuka hati, ia butuh analisa yang tinggi, perlu landasan samawi -tujuan syurgawi. Dakwah sebagai pacuannya. Lillah menjadi iringan napas kita. Dan tarbiyah mengitari keberkahan di tiap pertemuannya. Setidaknya jika kita berdua yang akan menyatukan visi nanti. Bila ingin surga mendekat, kita sudah harus bersiap-siap.

Bila diizinkan menjawab, aku juga pernah menitipkan cinta itu padamu. Meski tak ada yang tahu. Bahkan jika itu adalah kamu. Tidak ada makhluk bumi yang kuberi tahu. Meski penghuni langit sudah mendengar seluruh doaku.

Tapi nyatanya tak seindah pujian-pujian yang biasa terdengar. Menaruh hati dan menitipkan cinta itu rasanya perih. Setiap detik mengingatmu begitu risih. Melihat kemana saja kini selalu tampak wajahmu. Yang mendebarkan hati saat membaca namamu. Menjadi candu untuk menemuimu, meski dari jauh. Sangat menyiksa. Menyesakkan dada. Sedihnya tak terbilang. Pedihnya tak terkatakan. Setiap helaan napas begitu menyakitkan. Ibadah terjalankan dengan wajahmu yang membayang. Tilawah yang dibacakan terselipkan namamu menjadi dambaan. Semua tentang kamu, bahkan hingga ke doa-doa yang terpanjatkan.


Benar memang tidak ada obat bagi muda-mudi selain pernikahan (HR. Ibnu Majah no. 1847). Dan tepatnya hal ini juga yang kita rasakan. Maka dengan Allah kita kembali ke titik permulaan. Titik dimana kita dulu pernah bertemu di bangku kuliah dan sekolah, lalu kini bertemu masih sama di medan dakwah. Titik dimana rutinitas kita yang biasa terjalan, kembali dalam kebaikan. Menempa diri dalam ketaatan. Menyibukkan diri lagi menuju lahan lillah yang menghangatkan. Sungguh, cinta harusnya tumbuh jika akan menuju pernikahan. Tentang kapan? Itu adalah ikhtyar yang sedang kuusahakan. Tentang semua yang telah Allah rencanakan. Serta tentang perbincanganku pada Allah, Tuhan sekalian alam.


Kata si kecil,


Ahsan
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments:

Post a Comment