Wewangianmu sudah
terhirup dari ufuk jingga hingga fajar. Desauan romantikanya menggelegar hingga
ke bisnis tv. Banyak dari kita yang kian menjadikan langkahnya ringan menuju
panggilan azan. Sungguh sebenarnya tak sedikit yang melampiaskan kerinduan ini
dengan haru. Menjamu temu dalam rangkai kasih karena diimpikan selalu.
Tapi. Maafkan aku.
Aku tak tahu pasti apa
arti debaran di hati ini. Aku tak mengerti secara pasti apakah hati ini terbalas
rindu. Aku tak paham maksud hati menjadi begini. Ketika datang sejumput
kerinduan, aku malah makin layu dengan keraguan. Sebenarnya aku sudah
menantimu, bahkan sebelum kau dulu berlalu dari hadapanku. Aku sudah
menungguimu, sampai-sampai separuh cairan tubuhku hilang karena tangisan kala
itu.
Tapi. Maafkan aku.
Saat jiwa tak lagi
indah seperti dambaan sediakala. Raga tak lagi bersiap-siap seperti yang
seharusnya. Hatiku tak lagi terlatih seperti yang semestinya. Apa yang ada di
aku? Apa yang tersisa kini? Ah, aku tak ubahnya segombol angin tanpa arah,
tanpa masa cerah. Apa yang bisa kulakukan wahai hati? Malu-ku tak lebih dari
sebuah penyesalan.
Maaf. Aku bisa
bayangkan gagalnya hari-hari ke depan bila kurajut bersamamu. Sungguh aku
memang tak punya pilihan ketika kau sudah di depan mataku. Tapi. Maafkan aku.
Apa yang akan kukatakan
di sini adalah permintaan maafku. Takkan cukup seribu, dua ribu, atau puluhan
ribu. Jika hatiku bisa menemukan dirinya yang dahulu, maka akan kuucapkan
seberapa banyak maumu. Tapi. Maafkan aku. Semuanya takkan ada yang berubah
meski kita berjumpa dalam wajah-wajah ceria di sekeliling kita.
Jika amalan tak ada peningkatan, malu bertemu Ramadhan...
Jika tilawah masih kapan-kapan,
malu bertemu Ramadhan...
Jika sedekah masih pas-pasan, malu
bertemu Ramadhan...
Jika kesalahan pada ibu ayah,
saudara dan teman belum diminta maafkan, malu bertemu Ramadhan...
Jika nafsu belum terkendalikan,
malu bertemu Ramadhan...
Jika ikhlas dalam berbuat belum
dirasakan, malu bertemu Ramadhan... @KopiUkhuwah
Duh. Apakah kau tahu aku?
Apakah menurutmu rasa bahagiaku untuk menyambut kehadiranmu itu sungguhan? Apa menurutmu
ucapan suka citaku saat melihatmu di pintu termasuk kejujuran? Lalu apakah
menurutmu perkataanku untuk bersiap-siap menuju hari-hari bersamamu adalah
lisan si ‘abid (ahli ibadah)?
Maaf. Sekali lagi maaf.
Aku tahu betapa mengerikannya membaca kisah-kisah mereka yang kafir. Tapi kurasa
begitu pedih dan menderitakannya saat mengulang kisah orang-orang munafik. Jika
diibrahkan, kita jelas-jelas bukan orang kafir, tapi orang munafik?
Duh. Ilahi Rabbi. Maaf.
Beribu-ribu maaf. Saat kurasa hidup adalah mencari dunia, lalu suatu saat
kumengabaikannya, kenyatannya kurasa tak semudah itu. Saat kurasa mati adalah
setelah membekal diri dengan amal akhirat, kenyataannya ternyata tak segampang
itu.
Bolehkan aku merasakan
apa yang mereka rasakan? Apa yang mereka upayakan dalam manisnya iman? Dalam indahnya
Ramadhan?
Aku malu padamu ketika
amalku tak bisa tergenap suhu. Aku malu karena hatiku terpaksa tapi ragu-ragu. Aku
malu, kurasa persiapanku akan membunuhku. Aku tak tahu, kurasa aku akan
menyesal. Bersyukurnya aku merasakan penyesalan di awal, lalu bagaimana
selanjutnya?
Yang tertawan hidupnya,
Khair
0 comments:
Post a Comment