Rindunya aku sampai malu*



Pertama kamu tidak memberikan kabar. Kamu tahu tidak kalau kami selalu menunggu kamu. Entah di teras masjid, di halaman aula, bahkan di ruangan ujian kami membicarakanmu. Tak luput aku mencari-cari kehadiranmu. Meski akhirnya ‘kan sia-sia, tapi aku tak pernah perduli. Bagiku, kamu itu..
Kemesraan yang terbina, interaksi yang dibingkai cinta, malam-malam yang terhabiskan bersama, rasa rindu yang menyusup malu-malu bila mendatangimu, ketiadaan tawa kita yang berhasil mengganggu tidurku. Bagiku kamu itu..
Terus kuhubungi, kutunggu, kudoakan dengan sepenuh harap; semoga kamu nian terjaga tersebab karena Allah. Kamu dimana? Dengan siapa? Sedang apa? Betapa khawatirnya kami karena tak ada lagi komunikasi. Kapan? Kita kemana..

Kedua kamu baca pesanku, ya cuma dibaca. Kenapa? Bila ada salah, katakan sebenarnya. Bila ada masalah luapkan segalanya. Karena bagiku kamu itu..

Ketiga kita berbicara, berjumpa via suara. Meski kamu jauh entah dimana, akupun tak punya kuasa untuk bertemu empat mata. Kamu terdengar mengeluh. Kamu kenapa tiba-tiba rapuh? Padahal semenjak bertahun-tahun kita semua bersama, kamu seseorang yang kuakui untuk menguatkan. Yang kuakui untuk seseorang yang selalu bisa diandalkan. Baru beberapa bulan. Baru beberapa bulan jiwa kita tak lagi bersama. Raga kita jarang berjumpa. Tapi kamu tahu kalau kami mendoakan kita semua? Bagiku kamu itu..


Meski pada akhirnya harapku kita selalu bersama, meski lewat doa semoga terucap selamat dan bahagia.
Semoga Allah selamatkan aqidah, iman, hati, dan jiwa-jiwa kita dalam dekapan ukhuwah fillah. Dalam pelukan persaudaraan karena-Nya. Dalam kecintaan kita mengharap ridha-Nya.


Rindunya aku sampai malu,


Khair di Pesta Buku Medan
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments:

Post a Comment