Suatu hari -suatu saat, kita tengah duduk-duduk bersama. Pada
jam yang sama tepat meski berbeda tempat. Di posisi yang menyandarkan punggung
ke kursi, mata sedikit merapat sembari menyebut nama-Nya –bismillah yang selalu mengawasi, selalu menemani di sisi.
Seseorang yang (belum) boleh dipanggil; kasih!
“Akan hujan kah?” wajahnya membalik, “Saya kira cerah dan
gerah berhasil menghapus lillah. Kini dia lelah. Saya percaya kalau semua
perasaannya akan berubah.”
“Permisi. Sudilah kiranya kamu mengetahui ini. Sebenarnya,
apapun yang terjadi –mungkin karena aku hanya canggung menyapa, dia tidak akan
sengaja melupai.”
Awan berarak pergi perlahan. Dengan ragu angin mengikuti
lamban.
Jangankan melindungi dia
dari teriknya siang
Pun untuk meredam sinar
bekas wudhu di wajahnya yang mengundang saya(ng)
Kami, awan, siap
tertawan
Demi kemuliaan di
hadapan Tuhan, demi dia yang senantiasa menjaga kesucian
Demi dia, makhluq bumi
yang dicintai langit dan keberkahan
“Syair itu indah,” puji angin dari hati. “Kata-kata yang
kamu beri sungguh menggetarkan nurani. Saya terkesima, yang menerima pun
bakalan sama, menyanjung cintamu ini.”
Awan pun berbalik lagi. Tersenyum manis sekali. “Kamu benar.
Angin! Dia bukan tidak berani, hanya saja tetap berusaha menjaga diri.”
Kecanggungan angin barangkali seperti perasaan seseorang
yang tengah dilindungi awan dari atas bumi. Lelaki ini! Bukankah canggung dan
grogi menjadi sifat yang alami untuk bertemu denganmu, kasih!
Hingga pada akhir kisah, yang (belum) boleh dipanggil;
kasih, ada saat dimana menyapa menjadi syarat untuk memberi tanda. Ada bentuk
cerita untuk meminjamkan separuh rasa suka.
“Dan dia,” lanjut sang awan, “benar-benar cinta ketika sudah
sah dan menikah. Saat itu aku akan menjadi payung di tenda –dan atap di istana mereka.
Dua orang yang menyatu karena Allah beri rindu, rindu untuk bertemu –pertemuan di
majelis ahli surga.”
Khair | Ngawas Ujian
Semester
0 comments:
Post a Comment