“Memangnya bisa jadi
seperti itu kalau kau menangkap anak capung yang lucu dan mengurungnya di saku
celana?”
“Kita coba saja!”
Kalian berdua
mengelilingi teras sekolah perlahan. Menaiki tangga. Menuruninya. Melompat-lompa.
Memanjat-manjat.
Pandanganku mengikuti
kaos kaki yang kalian pakai untuk digesekkan ke dinding.
“Lalu lakukan seperti
ini setelah kau melepas sayapnya.”
Dari jauh kulihat wajah
yang kesakita setelah sayapnya dilepas paksa. Capung kecil itu meronta.
“Sayap ini harus
diinjak? Apa ini langkah yang benar?”
Aku kemudian berlari
mendekat. Karena awan gelap yang tiba-tiba datang, kuharap masih sempat untuk
menyelamatkan kalian berdua.
“Kau terlalu banyak
tanya! Lakukan saja apa yang kukatakan kalau mau ikut terbang.”
Mengangguk. Sedikit demi
sedikit semakin jelas anggukanmu terlihat. Beberapa bercak darah sebentar lagi
akan berjatuhan dari atas tangga.
“Kalau mau terbang apa
kita butuh ekornya juga? Aku putuskan saja ya, geli melihatnya bergerak-gerak
terus.”
Angin berderu kencang
membawa rintikan air dari langit. Terhembus. Debu-debu merayap terbang. Aku ingin
berteriak agar kalian cepat pergi dari tangga tertinggi itu. Hujan lebat
sepertinya akan datang. Tapi kurasa masih sempat.
“Berhenti!”
Duarr!!
“Kubilang berhenti!”
tanganku meraih kaki mereka dari dinding. Hujan belum turun juga.
“Kubilang ini milikku!”
Dua pasang sayap telah
kembali ke tanganku. Kemudian air dari lengit menetes dengan cepat. Aku sendirian.
Anak capung itu kini tergenang di sela-sela. Bercak-bercak berwarna merah
perlahan memudar dari dinding. Tapi aku tidak yakin apa yang terjadi pada anak
tangga yang berada di bawahku.
“Kemana kalian teman-teman?!”
Baru sadar, ternyata
kalian berdua sudah terbang duluan ya. Tenang saja. Karena sudah hujan lebat
dan aku sudah memegang dua sayap ini di atas anak tangga yang paling tinggu,
aku akan bisa menyusul kalian. Terbang.
0 comments:
Post a Comment