Menjadi seorang pria di tengah-tengah fitnah memang
pengalaman yang luar biasa. Kadang terkenang duri, kadang terjepit omongan dari
luar diri. Bagaimanapun detik berlari dan lalu, hidup ini tentang milik kita
dan hanya Dia yang berhak memutuskan seperti apa kejadiannya. Saat menjadi
seorang pria, kita melalui jalan-jalan yang berbeda. Meski pada pilihan yang
sama, hasilnya bisa berbeda. Persis bila kita menaiki sepeda yang sama, tapi
tiba-tiba ban milikmu pecah duluan, punya saya belakangan. Pria yang memilih opsi
yang sama, belum berarti memiliki akhir yang sama.
Apalagi jika jiwa seorang pria berada di tengah-tengah para
wanita. Dipertemukan dengan fitrah dan fitnah, berpisah hanya karena sebuah
huruf ( r dan n ). Mungkin -kalau boleh mengarang, menurut saya bisa menjadi
‘r’ untuk Rabb; Mahapengatur anak manusia yang masuk ke dalam hidup kita, dan ‘n’
untuk nasehat; saat kesombongan dan kerendahan hati berada di persimpangan.
Jika terlisan sebuah kelemah-lembutan, kehati-hatian; mungkin di hati menjadi
kebanggaan, kesombongan. Ah, pelik memang hal yang satu ini. Apa yang menjadi
pemicu kemunculannya, seringkali pria tidak mengetahuinya. Tapi yang pasti ada
kaitannya dengan nasehat dari Rabb.
“Jika nanti bertemu dan momennya mengharuskan begitu, maka untuk siswa (laki-laki), silahkan salim (red: salaman, cium tangan) seperti biasa. Namun untuk siswi, mohon
maaf karena tidak saya perkenankan.”
Artinya bila itu seorang perempuan, saya tidak perkenankan
untuk bersentuhan.
Inilah saya. Ini solusi yang saya miliki.
Tapi memang karena pada dasarnya mereka adalah pembelajar.
Berbudi pekerti yang terbentuk dari didikan hati. Tersentuh setelah diberikan
pengertian penuh. Pria yang mengambil jalan ini mungkin banyak, maka izinkan
saya untuk mengambil jalan yang sama, meski kita belum tahu hasilnya. Tapi yang
saya yakini, hasil itu urusan Dia, saya berusaha untuk terus melibatkan-Nya.
Ketika saya tanya, mereka berkata, “Bukan muhrim, Pak.”
“Bapak masih punya wudhu.” “Karena bakteri, kayak yang di
iklan sabun.. XD ”
“Takut dipelet, Pak. Hehe.”
Pria tersenyum. Dengan sepenuh cinta dan ruh yang bersemayam
di jiwa, “Ratu di negara manapun mereka berada, itu tidak mudah menyentuh
mereka. Barangkali hanya suami mereka saja. Keluarga dan sanak saudara mereka
pun bersusah untuk salim padanya.
Bagi saya, kalian para perempuan itu lebih anggun dari pada
para ratu. Lebih berharga daripadanya.”
Woww..
Berbelasan ruangan yang pria ini ampu, semua diberi respon
yang mirip-mirip serupa.
“Dan jika ada seorang pria yang tak bermudah menyentuh
wanita mana saja, sebenarnya ia sedang berusaha belajar untuk memahami arti
‘setia’. Baginya cukup satu saja. Baginya cukup hanya satu wanita saja yang
berhak bersandar di bahunya.
Tentang arti setia, yang saya tahu bahwa mereka hanya ingin
menjadi yang satu-satunya. Tidak menjadi yang kedua, ketiga, atau seterusnya.”
Fufufu..
Sepoi angin melelehkan hatimu. Hehe..
Dari bawah atap berwarna biru,
Khair
0 comments:
Post a Comment