kita semua, anak Adam, pernah melakukan kesalahan dalam dekapan ukhuwah, kelembutan nurani memberi kita sekeping mata uang yang paling mahal untuk membayarnya
di keping uang itu, satu sisi bertuliskan “akuilah kesalahanmu”
sisi lain berukir kalimat, “maafkanlah saudaramu yang bersalah”
MARI coba
mengingat
kapan
terakhir
kali
kita
melakukan kesalahan fatal. Bukankah saat itu
kita
sangat
ingin
ada seseorang yang tampil untuk mengatakan, “Ah, ini bukan hal yang
serius!”?
Ya. Itu memang tidak menyelesaikan masalah. Ia tidak memberi
jawab kepada persoalan. Tetapi setidaknya kita terhibur dan merasa bahwa kita tak sendiri. Sungguh, perasaan semacam
itu
akan menguatkan tekad kita untuk menebus kesalahan dengan hal yang
jauh
lebih baik lagi.
Demikianlah
seharusnya dalam dekapan ukhuwah,
kita berdamai
dengan kesalahan sesama. Tepuklah mereka dengan
hangat di bahu dan pundaknya.
Katakan, siapapun, bahkan yang terbaik, bisa keliru. Sediakan hati kita untuk memakluminya. Yakin-
kan
bahwa kesalahan itu tak berarti kiamat.
Lihatlah Rosululloh
ketika Kholid ibn al-Walid melakukan
sebuah kesalahan fatal dengan membunuh Bani Jadzimah yang telah
menyerah. Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam begitu berduka. Apa yang dilakukan Kholid benar-benar
telah melampaui batas. Kini
seluruh bangsa Arab membelalakkan mata mereka, menyorot ke arah Madinah. Selama ini mereka telah menganggap
kaum
Muslimin sebagai teladan tertinggi dalam segala perihidup dan etika perang.
Dengan kejadian ini, seolah mereka hilang harapan. Seolah mereka sadar dari lamunan bahwa bagaimanapun orang-orang di
sekitar
Muhammad bukanlah malaikat.
Tiap pahlawan punya kisahnya sendiri.
Di Perang Uhud, ketika tubuhnya memerisai Rosululloh
dan tujuh puluh
luka berlomba menguras darahnya, Tholhah ibn
‘Ubaidillah berdo’a sambil menggigit bibir. “Robbiy,” begitu lirihnya,
“Khudz bidaamii hadzal yauum, hattaa tardhoo. Ya
Alloh, ambil darahku hari ini
sekehendak-Mu hingga Engkau ridho.” Tombak, pedang,
dan
panah yang menyerpih tubuh dibiarkannya,
dipeluknya badan Sang Nabi seolah tak rela seujung bulu pun terpapas.
Tetapi tiap pahlawan punya kisahnya sendiri.
Satu hari ia berbincang
dengan ‘Aisyah, istri Sang Nabi, yang masih terhitung sepupunya. Rosululloh datang, dan
wajah beliau
pias
tak suka. Dengan isyarat, beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
meminta ‘Aisyah masuk ke dalam bilik. Wajah Tholhah memerah. Ia
undur diri bersama gumam dalam hati. “Beliau melarangku berbincang dengan ‘Aisyah. Tunggu saja, jika beliau telah diwafatkan
Alloh, takkan kubiarkan orang lain
mendahuluiku melamar
‘Aisyah.”
Satu saat dibisikkannya
maksud itu pada seorang kawan, “Ya,
akan kunikahi ‘Aisyah jika Nabi telah wafat.”
Gumam hati dan ucapan Tholhah disambut
wahyu. Alloh menurunkan firman-Nya kepada Sang Nabi dalam ayat kelimapuluh tiga surat al-Ahzab, “Dan apabila kalian meminta suatu hajat kepada
istri Nabi itu, maka mintalah pada mereka
dari balik hijab. Demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka. Kalian tiada boleh
menyakiti Rosululloh dan tidak boleh menikahi istri-istrinya sesudah wafatnya selama-lamanya.”
Ketika ayat itu dibacakan
padanya, Tholhah menangis.
Dia lalu memerdekakan budaknya, menyumbangkan kesepuluh untanya untuk jalan
Alloh, dan menunaikan umroh dengan berjalan kaki
sebagai taubat dari ucapannya.
Kelak, tetap dengan penuh cinta dinamainya putri kecil yang disayanginya dengan
asma
‘Aisyah. ‘Aisyah binti
Tholhah. Wanita jelita yang
kelak menjadi permata zamannya dengan kecantikan,
kecerdasan,
dan
kecemerlangannya. Persis seperti ‘Aisyah binti Abi Bakar.
Begitulah, tiap pahlawan punya kisahnya sendiri.
Satu hari, dalam perang yang dikenal sebagai Waq’atul Jamal
itu, ‘Ali mengirim utusan, memohon agar bisa
berjumpa dengan
kedua sahabat yang dicintainya; Tholhah dan az-Zubair. Mereka berdua datang. Mereka bertiga berpelukan.
Tak
terasa air mata meleleh. Kenangan-kenangan
ketika ketiganya bersipadu di sisi
Rosululloh berkelebatan dengan indah. Namun kini terasa
menyesakkan. Menyakitkan. Dulu pedang mereka seayun, langkah
mereka sebaris, tangannya bergandengan. Kini mereka harus berhadapan saling menghunus pedang, dengan
mata saling menatap tajam, tapi hati tersembilu.
Dan seolah tak ada jalan selain itu.
Sesudah menyeka air mata, ‘Ali menggenggam jemari tholhah dan menatap dalam ke wajahnya. Dengan menghela
nafas, ‘Ali mencoba menyusun
kata. “Ingatkah engkau, hai Tholhah, mengapa
Alloh turunkan ayat tentang hijab bagi istri Nabi dan mengapa
Dia melarang kita untuk menikahi janda beliau?”
Tholhah terisak.
Dadanya bergemuruh oleh malu
dan sesal.
Bahu
kekarnya bergeletar.
‘Ali menepuk bahu Tholhah. “Ya,” katanya sambil mengalihkan
pandangan, tak
sanggup
melihat tercabiknya batin
Tholhah oleh
kata-katanya. Tapi demi perdamaian dan persatuan kembali kaum Muslimin, ‘Ali mau tak mau harus mengatakan
ini.
Ia menguatkan hati. “Ayat itu turun karena maksud hati dan ucapanmu untuk menikahi ‘Aisyah.”
Tholhah menubruk ‘Ali, memeluk dan menangis di bahunya.
Hari itu mereka sepakat berdamai dan menyudahi
perang saudara.
Dan
di hari itu pula, sepulang dari kemah ‘Ali, Tholhah bersama az-
Zubair sahabatnya dibunuh oleh orang-orang yang tak menghendaki
perdamaian. Dan
‘Ali ibn
Abi Tholib
dengan
duka yang begitu
dalam, sore itu, menggali kubur untuk kedua cintanya.
Sumber: dalam dekapan Ukhuwah, Salim A. Fillah