Bila ada yang mengatakan kalau begitu sulit mencari
seseorang yang benar peduli pada kita, tidak juga. Atau ada juga yang bilang
setiap orang-orang yang ada di sekitar punya ikatan keduniaan, tidak juga.
Memang harus kita akui bahwa setiap hubungan memiliki kepentingan, tujuan, dan
visi yang dibangun bersama mereka yang terhubung di dalamnya. Pertemanan,
berkeluarga, bahkan hingga organisasi sebesar pemerintahan juga memiliki
visi-misi tertentu. Kemana arah mereka? Si penjalin dan semua yang terhubung
itulah yang menentukan.
Ana uhibbukum fillah,
akhi! sebuah pernyataan cinta yang ingin selalu kuucap saat jumpa.
Seringkali sebagai lelaki untuk mengucapkan hal seperti ini dihalangi tabir
yang sangat tebal. Terhalang rasa malu dan ragu yang tak menentu. Tapi Alhamdulillah persaudaraan kita bisa
mengikatnya dalam doa dan perjumpaan yang menenangkan. Pertemuan yang
dialasankan atas pengharapan keridhaan Allah. Halaqah yang penguatnya adalah
perhatian. Lalu isinya baik-bak, berkah-berkah, taat-taat.
“Cari yang akhwat itu harga mati!” hardikku.
Hampir habis kata-kataku untuk menenangkanmu. Kita duduk
berdua, bercerita tentang masing-masing lara yang menggumpal di dada. Tidak ada
alasan untukku untuk tidak membantumu. Ana
uhibbukum fillah, akhi! terucap dengan tanggung jawab.
“Karena rasa nyaman itu lebih berbahaya daripada jatuh cinta. Ia membuat kita kecanduan, tapi lupa pada hakikatnya rasa nyaman akan sementara. Ketika ia hilang, maka hilang juga keberadaan kita.”
Sudah kamu katakan isi hatimu yang terdalam. Dan aku tau
benar, Allah tetap menjadi tujuan. Akhi, sebisaku
membantumu hingga tetes darah penghabisan.
Perempuan memang suka berangan-angan (red: ini bukan
tindakan negatif), tapi sayangnya dia melibatkan kita menjadi penghuninya. Lalu
kenapa kita yang dihukum karenanya?
Siapapun itu, tidak akan kubiarkan mereka menganggu saudaraku,
mengusik ketaatan hatinya pada Allah.
Entah apa yang membuatku seperti ini,
tapi kuharap ada ridha-Nya atas tindakan ini.
“Suruh dia pergi dan jangan takut ancaman-ancaman manusia
–apalagi wanita. Niat yang baik pun dilakukan dengan cara yang baik.
Kalau kamu suka karena shalihahnya ia, itu tidak pa-pa. Aku
pun turut bahagia. Kalau memang itu pilihanmu, aku juga senang berhingga. Tapi
kalau kehadirannya menyusahkanmu, ‘kan kubantu untuk mengatakan padanya. Insyaa
Allah, kuusahakan apa yang bisa kulakukan.
Cari yang akhwat itu harga mati, akhi. Tak ada tawar-menawar. Proses jual-beli bersama Allah yang
kita harapkan hanya keberkahan.
Lalu berproseslah. Kita juga terus berproses. Jalan yang
telah ditempuh jangan rusak karena gejolak yang belum halal itu. Aku pun
mengatakan ini padamu bukan berarti aku lebih baik soal hati daripadamu. Kita
hampir sama, dalam semangat yang hampir serupa. Tapi insyaa Allah, semoga Allah
tetap menjaga perasaanku padanya. Lalu diapun juga terus terjaga. Aku bersyukur
kalau kamu akan menemukan ridha Allah yang melimpah di sana.
Kita ‘kan tidak terlalu peduli; ia anak siapa atau seberapa
kekayaannya, yang kita telah janji; tentang agama dan siap tidaknya ia menjadi
putri untuk ibu kita, ibu untuk anaknya, pendamping yang menasehati kita dalam
pengabdian pada-Nya, dan pelejit semangat karena pergerakan dakwah yang sudah
ada di nadinya.
Dia juga harus tau kalau untuk mendapatkan kita harus
melewati banyak perempuan-perempuan yang memiliki iman di hati mereka. Ini
bukan tentang bangga diri, tapi tentang menyadarkan hati, pantaskah kalian
bersama kami? Atau mungkin menjadi; pantaskah kami bersama kalian? Pilihan
manapun yang kalian pilih jawaban kami tetap sama. Allah yang menentukannya.
Lalu pada akhirnya, cari yang akhwat itu harga mati, akhi!!
Ami Ahsan.