Pukul dua lewat tiga
belas menit, saya sedang menulis ini di teras bangunan yang kesepian ini. Orang-orang
sudah pada tidur dan saya masih terjaga. Biasanya di saat-saat seperti ini saya
ditemani obrolan-obrolan visioner dan diskusi tentang masa depan. Tapi biarkanlah
kali ini saya hanya sendiri sambil diselimuti oleh kerinduan. Ah, entah kenapa
saya selalu merindukan seseorang di saat menulis dan di saat sendiri. Apalagi jika
saya sedang menulis sendirian. Dibumbui pula lagi karena terputar senandung ‘jauh
di mata dekat di hati’.
Gombal kah?
Anak-anak tetaplah anak-anak,
pada mereka melekat karakter khas anak-anak, setelah dipola sedemikian rupa
pun. Mereka tetap polos, comel¸baik
budi, lugu, patuh, manis, dan manja. Sebagai pembelajar, saya pun mulai membiasakan
diri dengan mereka, apa yang dimau mereka, dan apa yang seharusnya dilakukan
oleh mereka. Syukurlah ini membutuhkan waktu yang lama karena intensitas waktu
akan berdampak kepada kelanggengan karakter yang ingin dibentuk pada diri
mereka. Namun secara keseluruhan yang baru sedikit saya beri reaksi, kelembutan
akan menimbulkan kepatuhan-kepatuhan yang menenangkan. Kelembutan memberi efek
taat pada perintah dan taat menjauhi apa yang tidak diperbolehkan. Anak-anak
yang shalih(ah) dan patuh adalah anugerah. Mereka juga menjadi penyejuk mata
yang indah.
Saya terus belajar
untuk hal yang satu ini dan hal lainnya. Sebagai bekal dan bahan belajar. Karena
mengingat ketika kita sedang menyicil bahagia saat ini tersebab menjaga
keberkahan yang masih terus dijaga agar selalu terjaga.
Begini rasanya ternyata
menyicil bahagia itu. Dan saya yakin di antara orang-orang di luar sana tak
banyak pula merasakannya. Ini kenikmatan, insyaallah.
Orang-orang hanya akan
bertanya, kok begitu padahal begini? Kadang saya cuma gemes sendiri. Lebih sering senyum-senyum sendiri sih. Entah ini
jadi indikasi apa.
Maka kita ucapkanlah
syukur dan marilah selalu mengabdikan diri pada-Nya tanpa kenal henti.
0 comments:
Post a Comment