Pertemuan kita adalah ketentuan. Dan bisa jadi perpisahan kita
menjelma pada kepastian. Biarkan taqdir Ilahi berjalan sesuai titah dan
perintah. Yang perlu diyakini bahwa Dia selalu memberi kebaikan untuk sesiapa
yang selalu berusaha mendekati-Nya. Karena kita adalah pemain, pelakon, dan
pengambil peran, maka mari turuti jalan ini, naskah hidup ini. Mengenai terjadikah
pertemuan kita nanti atau niscayakah keberhasilan meraih impian serta cita ini,
bukankah adil jika Allah saja yang mengurusnya.
Bukankah adil bagi Allah jika aku mendahulukan-Nya
daripadamu. Tujuan utama perjuangan ini harus konsisten karena-Nya. Seluruh gerakan
tubuh dan nafas yang meluruh bukankah menjadi begitu adil karena harus
mendapatkan perhatian-Nya. Bahkan memperjuangkan pertemuan kita berdua beserta
seluruh orang-orang di sekeliling ini menjadi begitu adil karena Dia yang
memberikan jawaban atas rintihan usaha yang telah dilakukan.
Bukankah adil bagi Allah jika aku tak sekedar datang hanya karenamu.
Yang terpilih dan tak terpilih sekalipun pada akhirnya akan kita serahkan
urusan ini pada-Nya. Jika bukan kamu, maka selalu ada Dia.
Bukankah adil bagi Allah jika aku menyiapkan yang terbaik
untuk saat-saat terbaik. Niat terbaik, penghargaan terbaik, teladan terbaik, bekal
terbaik, ilmu terbaik, amalan terbaik, praktik terbaik, dan persiapan terbaik. Bukankah
adil juga bagimu jika aku menjadi orang yang terbaik. Dan adil bagiku menjadi
yang terbaik kedua, setelah Rasulullah dan ayahandamu.
Bukankah adil bagi Allah jika kamu tak sekedar menunggu. Jangan
sampai kamu tutupi hati itu dengan harapan selain Dia. Bukankah adil bagi-Nya
kalau kamu menjadi yang terbaik dan mendapatkan orang yang terbaik. Jika bukan
aku, mungkin orang lain. Tak perlu menunggu bila ada yang lebih baik daripada
aku. Namun jika Allah berkehendak itu ternyata kita, siapa yang tahu.
Bukankah adil bagi kita, kalau Allah memberikan kenyataan
bahwa ada ridha dan kasih sayang untuk hari-hari yang kita habiskan mendekat
pada semua hal yang dicintai-Nya. Bukankah menjadi adil jika kita mendatangi
sesiapa yang mencintai Allah dan dia pun mencintai kita. Bukankah begitu adil
jika kita didatangi oleh dia yang mencintai Allah dan Allah pun mencintainya.
Kalau aku disebut penulis yang menyusun kata-kata untuk
meluluhkan perasaanmu atau seperti terbaca aku sedang merayumu, sungguh tidak. Sekali
lagi, benar-benar tidak.
Lalu, apa artinya semua kalimat di atas ini?
Bukankah begitu adil bagiku untuk tidak mengutamakan
keinginan dari kesiapan. Jika orang-orang bertanya tentang perjuangan dan
pengorbanan, bukankah adil bagi kita kalau Allah saja yang merahasiakan.
Aku selalu menujumu. Meski jika nanti Allah menuliskan kamu
telah pergi dari ujung jalan ini, setidaknya kita tak pernah kecewa karena
selalu ada Dia. Pertemuan kita bukan hanya sekedar kamu menunggu dan aku
datang, bukankah adil bagi Allah agar kita terus mempersiapkan yang terbaik di
saat-saat terbaik. Selalu bersiap-siap untuk melangkahi keinginan pribadi. Agar
tak ada aniaya, tak ada menyesal, tak ada kecewa. Hingga jika Allah mengabulkan
permohonan untuk semasing kita membangun bersama rumah di surga. Sesegera yang
aku bisa dengan segenap usaha, sekehendak Allah yang menjadikannya tak niscaya
dan menguatkan kastilmu ketika menunggu, di saat yang sama Allah kuatkan
pundakku dimana tanggung jawab itu tertumpu.
0 comments:
Post a Comment