Aku menunggu angin yang menerbangkan kabarmu dari ruanganku. Sejenak memahami arti menunggu sesuatu yang tak ada di mata, tapi bergetar di dada. Dan entah karena rasa rindu yang mana, pagi ini ia berganti muka. Menjelma karena nama yang tadinya didoakan telah berbeda.

Kabarku tidak baik-baik saja. Jangan salah paham. Alasannya bukan karena kamu yang kecewa. Juga bukan karena harapanku yang belum bisa menjadi nyata. Tenang saja. Bukan itu.

Ohya, boleh aku bertanya? Apa namanya kalau jantung berdebar seharian dan tubuh lemah karena punya sedikit daya..

Aku tidak kurang makan, yaa.. meski tak tepat waktu. Waktu istirahatku pun ada, yaa.. walau tidak di tempat tidur. Bukankah begitu? Istirahat ‘kan tak mesti tidur.. Suplemen? Ada.. memang sih sesekali saja.

Tahukah kamu bahwa sebenarnya kabarku tak terlalu penting untukku? Tapi untukmu, aku tak perlu tahu. Kenapa? Itu bukan urusanku.

Pagi ini, anak-anak berdedikasi untuk berkreativitas sendiri. Hujan sedari syuruq belum berhenti. Saat aku keluar rumah dengan penutup kepala tadi, matahari sudah meninggi tapi cahayanya belum cerah sekali. Dan di sini, di ruangan ini, aku menulis cerita ini.

Bolehkah aku bertanya lagi? Berapa orang yang penasaran dengan kehidupan pribadi si pena ini? Oh. Mungkin ini tak penting lagi.

Fyi, yang mesti kamu tahu, bahwa namamu tidak ada di hatiku. Tentangmu belum bisa menjadi prioritasku. Bagaimanapun sejak dulu memang banyak orang spesial di hidupku meski belum tentu prioritas yang nomor satu.

Memang mudah masuk ke dalam hidupku, tapi menjadi ‘isi inti’ dari ceritaku itu sungguh keputusan yang sulit. Tersenyumlah, karena cerita tentangmu belum bisa berakhir begitu saja.

Ohya, kalau pagi aku dipanggil Bapak.

Pak Khair.


Kehidupan yang sedang kita jalani kadangkala terlihat sama, persis pula kalau tampak dari luarnya. Berjumpa dengan puluhan kepribadian yang berwarna, di tengah-tengah perjalanan bertemu ratusan anak Adam yang punya jutaan karakter berbeda-beda.

Saat lingkungan yang sehat menjadi tak bersahabat, ketika tempat senyaman irisan surga berubah menjadi percikan api berbara, bagaimana kita akan menyikapinya?

“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR. Muslim no. 91)
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadist ini berisi larangan dari sifat sombong yaitu menyombongkan diri kepada manusia, merendahkan mereka, serta menolak kebenaran” (Syarah Shahih Muslim Imam Nawawi, II/163, cet. Daar Ibnu Haitsam)

Kepada Dia yang lebih mampu memperbaiki hati-hati kita. Kepada Dia yang sangat kuasa agar lurus lisan-lisan kita. Kepada Dia yang selalu menjaga hamba yang dicinta dari perbuatan-perbuatan hina.

Maka ya Rabb, saksikanlah bahwa jalan dakwah ini adalah milik-Mu sedangkan kami hanya memintal benang-benang kecil saja mengemis rahmat-Mu.

Maka ya Rabb, saksikanlah bahwa kami berada di sini karena-Mu, biarkanlah mereka seperti ini –seperti itu, karena sungguh yang kami tauladani adalah Rasul-Mu. Jika suatu hari jamaah ini terpercik aib, biarkanlah karena kami berada di sini karena-Mu –bukan karena mereka itu.

Maka ya Rabb, jernihkan hati dan akal ini, kami akui sungguh manusia tak berarti apa-apa meski ia orang hebat di mata manusia lainnya, Engkau di atas segalanya, menguasai seluruhnya. Siapapun mereka, tidak akan bisa melakukan apa-apa bila Engkau tak izinkan. Siapapun mereka, tidak akan bisa menghalangi apa-apa jika Engkau telah ridha padanya.
 
Maka ya Rabb, saksikanlah bahwa memilih untuk tetap berbesar jiwa di jalan ini adalah dari-Mu, atas izin-Mu, melalui anugerah-Mu, berdasarkan kerinduan melihat Wajah-Mu, dan selalu Engkau..

Tapi apalah daya pada doa yang tertuliskan bila hati seharusnya lebih mengemis keikhlasan.

 


Kita selalu berpapasan dengan beragam orang dari pinggir jalan atau ketika melintas di jembatan tanpa duri dan bebatuan. Setiap diri itu ada yang membekas di pertemuan, tapi seringkali berlalu menghilang begitu saja. Pernah beberapa datang singgah, sejenak untuk bercerita-cerita. Namun lebih banyak pula yang melambaikan tangan saja tak hendak. Memalingkan wajah pun susah minta ampun.

Maka secara realisnya, kita adalah sekian orang yang mengisi kehidupan sekian orang yang lain lagi. Kita menjadi tamu yang kadang datang, pun bisa tiba-tiba pergi.
Bagaimanapun, jangan biarkan orang lain yang mengarang kisah kita, simpan baik-baik penanya, lalu tuliskan apa yang seharusnya kita lakukan. Jangan biarkan orang lain yang menuliskannya.

Apakah mengalir seperti air?

Menurut saya mungkin artinya begini; mengalir saja tanpa pedulikan mereka-mereka di sana-sini. Apa untungnya menyapa mereka, yang penting diri kita dan untuk apa memikirkan yang bukan urusan kita. Tabrak saja yang menghalangi, hancurkan saja kalau jalan kita dihambat, musnahkan semua yang mengacaukan. Tapi kalau suatu saat tampak semua yang ingin ikut dengan kita, angkut saja; kotoran dan debu-debu berserakan masukkan saja.

Atau…

Memilih menjadi orang yang menyenangkan; menghibur mereka yang berada di sekitar jiwa. Menumbuhkan kenyamanan saat di dekat kita. Atau bisa jadi pilihan untuk tetap diam berwibawa; saat kita bercerita, yang lain mendengarkan. Rasa-rasa mereka sungguh rugi bila tak mendengar sepatah kata dari lisan kita. Mungkin juga sebagai orang yang perkataannya meneduhkan, senyumnya menyejukkan, matanya menenangkan, keberadaannya dinantikan, kehangatan akrab dengannya menjadi canduan. Atau bagaimana kalau semua ini ada di diri dalam waktu yang bersamaan? Itu sih pilihan kita.

Khair
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home