Tunduk-tunduk. Menunduk.
Tatapan dalam-dalam. Ke arah lembaran soal dan jawaban di
hadapan.
Ah, pagi yang cerah. Udaranya tidak dingin, tidak juga
sepanas siang itu. Semisal kita yang tidak mengerti apakah boleh merindu atau
hanya boleh mendoakan dalam qalbu. Cukupkah jika kita melihat dari jauh? Saling
mengawasi tapi tidak pernah memandang semasing diri. Bisakah kita bertemu lagi
atau cuma terjadi di surga nanti? Apakah salah menaruh hati setelah Allah dan
Rasul-Nya sangat kita cintai? Bagaimana mengekspresikan emosi ini agar menjelma
jadi anugerah dan rahmat Ilahi?
Sebuah ruangan 11, sedang berlangsung kompetisi untuk
melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Sabtu ini, enambelas ruangan terjejer
diisi ratusan anak-anak muda yang hendak dibentuk dan dibina lagi.
Kamu tahu kenapa membina itu begitu menyenangkan?
Menenteramkan dan mendamaikan. Tanyakan saja pada dia alasan karena terus
bersamamu hingga bertahun-tahun. Coba minta pendapatnya kenapa kamu terus ia
dampingi, dari pertemuan sepekan sekali sampai kamu curhat berkali-kali dan ia
berikan jutaan solusi. Boleh ceritakan suatu hari dimana kamu terpuruk, tapi
hanya dia yang di sisi. Menemani dan mendengarkan kisahmu hingga berakhirnya
hari.
Saya tidak membicarakan tentang kamu, tapi tentang dia.
Seorang yang diutus Allah menjadi wasilah hidayah. Menjalani hari sebagai
perantara nikmat iman dan islam di sekeliling kita. Sang Murabbi..
Tapi, kalau itu kamu, saya bersyukur. Syukur saya karena
Allah, karena seharusnya kita mengarung jalan yang sama. Merasakan
ketenteraman, kedamaian, ketenangan yang serupa. Sampai fase terakhir kita
datang, saat Allah merindui dan bilang, “Mari Pulang!”